SEPUTAR PROPERTI/Jakarta – Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menyambut gembira visi-misi dari semua calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) 2024-2029 yang telah memasukkan sektor perumahan sebagai visi-misi prioritas termasuk kemungkinan dibentuknya Kementerian Perumahan dan Perkotaan.
Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto menegaskan salah satu amanah Musyawarah Nasional (Munas) REI tahun 2023 yang berlangsung di Jakarta pada Agustus 2023 adalah mendorong terbentuknya Kementerian Perumahan dan Perkotaan. Pesan tersebut sudah dipublikasi luas dan telah tersampaikan dengan baik kepada seluruh capres dan cawapres 2024-2029. Sekarang tinggal menunggu seperti apa program konkrit dan kontraktual yang mereka tawarkan.
“Perlu dicatat bahwa capres dan cawapres yang berjanji untuk menyejahterakan rakyatnya adalah omong kosong kalau dia tidak berbicara dan berkomitmen kuat untuk merumahkan rakyat. Karena salah satu indikator kesejahteraan adalah tinggal dan memiliki rumah yang layak huni,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (22/11)
Oleh karena kesadaran itu, REI menawarkan paradigma Propertinomic kepada capres dan cawapres terpilih di 2024 sebagai peta jalan dan panduan (road map) untuk menyelesaikan berbagai persoalan di sektor perumahan termasuk menuntaskan angka kesenjangan kebutuhan dan kemampuan penyediaan (backlog) rumah yang telah mencapai lebih dari 12,7 juta unit.
Dia menjelaskan, propertinomic adalah sebuah paradigma baru yang mengubah cara pendekatan sektor properti dari yang sebelumnya hanya sebuah indikator dalam pertumbuhan ekonomi, menjadi pendekatan yang menjadikan sektor properti sebagai faktor pengungkit pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk merealisasikan pendekatan baru itu, ada empat fokus utama propertinomic yang harus disentuh oleh pemerintahan mendatang. Pertama, dari sisi institusi atau kelembagaan. Tidak hanya berkaitan dengan lembaga kementerian saja, tetapi termasuk juga penguatan institusi pembiayaan khusus properti.
Kedua, soal anggaran pembiayaan perumahan. Joko mengatakan, alokasi anggaran untuk sektor perumahan masih sangat kecil, yaitu 0,4 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi anggaran untuk sektor perumahan di Indonesia itu bahkan lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang rata-rata sudah di atas 2 persen.
“Ini artinya sektor perumahan itu belum menjadi prioritas di Indonesia. Karena itu, paradigmanya harus diubah ke arah propertinomics. Ini yang terus digaungkan oleh REI untuk mengingatkan kita semua tentang kekuatan sektor properti,” ujar CEO Buana Kassiti Group tersebut.
Bukti lain yang memperkuat asumsi sektor perumahan belum menjadi prioritas di Indonesia adalah angka backlog perumahan yang dalam satu dekade tidak berubah signifikan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2010 angka backlog sebanyak 13,5 juta, tetapi di 2020 masih 12,7 juta unit.
Fokus ketiga terkait dengan kebijakan. Menurut Joko, idealnya kebijakan properti dan perumahan disusun atau dibuat oleh institusi yang berkaitan dan bertanggungjawab langsung dengan sektor ini. Sekarang seperti diketahui hal yang berkaitan dengan kewenangan kebijakan perumahan masih tersebar di berbagai institusi/lembaga negara.
“Sementara kita tahu masalah pelik di Indonesia itu adalah koordinasi. Kalau koordinasi tidak bisa terkelola dengan baik atau orkestrasinya tidak harmonis, maka hasilnya juga sulit untuk optimal,” tegas Joko.
Keempat adalah sektor properti khususnya perumahan harus dijadikan prioritas. Kalau dijadikan prioritas, maka dia optimis sektor properti akan menciptakan hasil (output) yang lebih besar lagi. Joko membandingkan kontribusi sektor properti terhadap produk domestik bruto (PDB) di negara-negara tetangga Indonesia seperti Malaysia dan Thailand yang sudah mencapai di atas 20 persen.
“Tidak usah dibandingkan dengan Singapura atau Australia, cukup dengan Malaysia dan Thailand kita sudah jauh tertinggal. Saat ini kontribusi sektor properti di Indonesia terhadap PDB hanya sekitar 14-16 persen,” sebutnya.