SEPUTAR PROPERTI/Jakarta – Setiap tahun, sejak tahun 2008 Pemerintah menetapkan bahwa tanggal 25 Agustus diperingati sebagai Hari perumahan Nasional (hapernas). Peringatan hari perumahan ini sangat penting, karena diperlukan pemahaman, perhatian, dan langkah-langkah konstruktif untuk mengatasi tantangan perumahan di Tanah Air.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada perayaan Hapernas tahun ini melalui Dirjen perumahan menyatakan bahwa backlog, atau kesenjangan atara kebutuhan dan ketersediaan rumah mencapai angka 12,7 juta. Angka ini tiap tahunnya akan bertambah karena setiap tahunnya selalu ada kenaikan sebesar 700 ribu.
Yusuf Supriadi Sekretaris Umum Ikatan Dewan Pengembang Rumah Berdikari (Ikaderi) terkait angka backlog menyatakan, ini adalah tugas bersama para stakeholder di industri perumahan. Menurutnya lagi, namun hingga kini belum ada database dari backlog secara detail dan rinci tiap provinsi, kabupaten, kota sampai ke tingkat kecamatan dan desa/kelurahan terkait penyebarannya ada dimana saja kebutuhan rumah.
Yusuf berargumen, dengan adanya detail data backlog yang rinci akan semakin mudah dalam pemetaan dan mengatur pemintaan dan suplay jangan sampai data yang tidak rigit menjadikan program rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menjadi tidak tepat sasaran , dari dahulu backlog selalu di sampaikan di angka 12 sampai 15 juta ,
“Kami selaku pengembang berharap dan sangat ingin tahu secara detail dan rinci sehingga kita para pelaku usaha perumahan tidak asal-asalan membebaskan lahan, Sehingga kita dalam membangun tidak salah langkah karena ternyata kebutuhannya terbatas, bahkan bisa saja tak ada,” jelas Yusuf Supriadi.
“Selain itu, Yusuf juga menggambarkan kalau kebutuhannya ada, artinya pasar yang dituju siapa, apakah untuk rumah subsidi, atau untuk rumah komersial dengan harga berapa. Misalkan di Cikarang kebutuhan rumah harga Rp200 jutaan sangat besar karena adanya captive market sebagai kawasan industri,” tegasnya.
Sayangnya, database ini tak pernah ada dan diberikan pemerintah kepada pengembang yang membangun perumahan, subsidi dan non subsidi. Sehingga pengembang seperti memasuki hutan rimba dalam menjalankan bisnisnya, bahkan saling berkompetisi.
Yusuf berharap, kami pelaku usaha dengan organisaai bisa bersinergi dengan pemerintah pusat sampai pemerintah daerah hingga ke tingkat paling bawah dengan melakukan survei kepemilikan, kebutuhan rumah. Sehingga bisa terdata angka sebenarnya kebutuhan unit rumah di tiap kota, kabupaten bahkan hingga kelurahan.
“Atau bisa saja untuk lengakh awal pemerintah pusat dan daerah melalui BP Tapera mendata jumlah kebutuhan rumah untuk ASN, TNI, Polri, karyawan BUMN DAN BUMD semuanya aparatur negara,serta database karyawan swasta lewat data dari kementerian tenaga kerja atau data BPJS tenaga kerja atau ke instansi lain agar di link-an datanya sehingga semua akan terekap untuk jadi data yang riil . Dari sini BP TAPERA bisa memberikan informasi, kebutuhan rumah tiap kota dengan segmen pasar pegawai negeri, swasta , wirausaha dan profesi lain tegas Yusuf.
Alhasil dengan cara ini pengembang akan mudah dan bisa memetakan kebutuhan rumah dan juga segmen pasarnya. Karena menurut Yusuf diperlukan sinergi dalam menuntaskan masalah backlog ini, apalagi rumah untuk MBR yang sepertinya masih banyak tapi saat ini sudah mulai sulit mendapatkan konsumen karena terganggu adanya BI cheking.