SEPUTARPROPERTI/Jakarta – Jawa Barat secara tegas menempati posisi sebagai kantong terbesar penyaluran rumah subsidi di Indonesia, terutama dalam mendukung target ambisius pemerintah, Program Tiga Juta Rumah. Realisasi penyaluran rumah subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) di Jawa Barat, khususnya di kawasan penyangga Jakarta, jauh melampaui provinsi lain.
Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho mengungkapkan, hingga 29 Oktober 2025, penyaluran rumah subsidi FLPP nasional telah mencapai 208.716 unit atau 59,63% dari target 350.000 unit. Jawa Barat menempati posisi teratas dengan total pembiayaan 181.471 unit sejak 2022 hingga 2025.
Namun realisasi rumah subsidi yang tinggi di Jawa Barat diselimuti oleh beberapa kendala krusial yang dapat memperlambat laju Program Tiga Juta Rumah. Tantangan ini terbagi dari dua bagian, sisi supply (pengembang) dan sisi demand (konsumen MBR).
Epicentrum Rumah Subsidi, Kenapa Jawa Barat Mendominasi Program Tiga Juta Rumah
Kendala di Sisi Pengembang
Pengembang, terutama skala kecil dan menengah yang mendominasi proyek subsidi, sering terbentur pada tiga masalah utama.
Perizinan dan utilitas yang lambat, meskipun pemerintah provinsi Jawa Barat telah berupaya menyederhanakan perizinan, faktanya proses di lapangan, terutama terkait perizinan di tingkat daerah, masih menjadi hambatan.
Masalah amdal, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sering kali menjadi pertanyaan dan memperpanjang waktu tunggu.
BP Tapera Catatkan Sejarah, Gelar Akad Massal Sebanyak 26 Ribu Unit dan Disaksikan Presiden Prabowo
Koneksi utilitas, keterlambatan paling krusial adalah penyambungan infrastruktur dasar seperti listrik dan air bersih. Rumah sudah selesai dibangun, tetapi belum bisa dilakukan akad atau serah terima karena utilitas belum terpasang. Hal ini menyebabkan cash flow pengembang terhambat.
Kualitas bangunan dan penyerahan prasarana, beberapa kasus rumah subsidi di Jabar masih menghadapi masalah kualitas, mulai dari pondasi hingga atap yang tidak sesuai standar. Selain itu, masalah penyerahan aset juga menjadi sorotan:
PSU (Prasarana, Sarana, dan Utilitas) mangkrak, banyak pengembang yang belum menyerahkan aset PSU-nya kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Aset ini penting untuk pemeliharaan lingkungan dan keberlanjutan permukiman, sehingga perumahan yang ditinggalkan Pemda akan cepat rusak.
Rumah Subsidi, Melalui BTN Sebanyak 140 Ribuan Orang Bisa Miliki Rumah Subsidi
Keterbatasan lahan dan harga tanah, meskipun masih tersedia lahan di penyangga Jakarta, harga tanah di kawasan strategis terus melambung.
Spekulan lahan, Keberadaan spekulan dan mafia tanah dapat menaikkan harga lahan secara tidak wajar, sehingga menekan margin keuntungan pengembang dan membuat mereka kesulitan memenuhi batas harga jual rumah subsidi yang telah ditetapkan pemerintah.
Kendala di Sisi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
Tantangan terbesar yang dihadapi MBR bukan lagi daya beli awal, melainkan kemampuan memenuhi syarat administrasi bank.
Akad Kredit Massal 26 Ribu Rumah Subsidi, BTN Kuasai Penyaluran KPR FLPP Sebanyak 80%
Masalah Bankability dan Skor Kredit, meskipun permintaan rumah subsidi tinggi, tingkat penolakan permohonan KPR juga tinggi. Kemampuan bayar masyarakat (bankability) menjadi kendala utama.
Pinjaman Online (Pinjol), banyak calon debitur ditolak karena masalah skor kredit, bahkan yang diakibatkan oleh utang kecil seperti pinjaman online (Pinjol) senilai ratusan ribu Rupiah. Nilai utangnya kecil, tetapi cukup untuk membuat bank menolak pengajuan.
Gaji Tidak Tetap, sebagian besar pekerja di Jabar, termasuk guru, pelaku usaha kecil, hingga pekerja informal, tidak memiliki gaji tetap. Meskipun pemerintah kini mengizinkan MBR dengan gaji tidak tetap mengajukan subsidi, pembuktian penghasilan dan skor kredit tetap menjadi momok.
Dukung Pembangunan 3 Juta Rumah, BNI Sosialisasikan Kredit Program Perumahan di Banten
Lokasi Perumahan yang Tidak Memadai
Demi menekan harga, rumah subsidi seringkali dibangun di lokasi yang sangat terpencil (remote area), jauh dari pusat aktivitas, tempat kerja, dan fasilitas umum.
Biaya Transportasi Tinggi: Jika lokasi rumah subsidi terlalu jauh, biaya transportasi harian justru akan membebani MBR, yang pada akhirnya mengurangi kualitas hidup dan menjadikannya tidak layak huni.
Jawa Barat akan terus memimpin penyaluran rumah subsidi. Namun kecepatan realisasi program akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pemerintah, bank, dan pengembang dapat mengatasi tiga pilar tantangan: efisiensi perizinan, ketersediaan infrastruktur utilitas, dan literasi keuangan MBR untuk memastikan mereka lolos seleksi bank.



