SEPUTAR PROPERTI/Medan – Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (REI) terus mendorong pemerintah untuk membuat terobosan kebijakan terkait pembiayaan rumah subsidi. REI berharap adanya kesempatan luas kepada kelompok masyarakat berpenghasilan tidak tetap atau non fixed income untuk dapat membeli rumah bersubsidi dengan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) FLPP maupun KPR Tapera.
“Pangsa pasar perumahan itu hampir 65 persen adalah non fixed income. Bagaimana caranya agar kelompok masyarakat ini juga bisa membeli rumah melalui BP Tapera,” kata Totok Lusida kepada wartawan pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) REI ke-51 di Medan, Rabu (1/3/2023).
Sementara itu, Direktur Konsumer dan Komersial Bank BTN Hirwandi Gafar menyatakan, senada dengan REI, Bank BTN juga memberi perhatian besar agar masyarakat berpenghasilan tidak tetap dapat membeli rumah melalui KPR FLPP dan KPR Tapera yang saat ini dikelola BP Tapera.
Bank BTN bersama Kementerian PUPR dan Komisioner BP Tapera kini sedang intens menggodok skema pembiayaannya. Skema yang disiapkan antara lain KPR Rent to Own (RTO) dan KPR Staircasing Shared Ownership (SSO).
“UU Tapera menyebutkan ada peserta wajib Tapera yakni mereka yang memiliki pekerjaan tetap dan ada peserta mandiri yakni kelompok non-fixed income tadi. Kita dorong mereka untuk ikut program Tapera dan nanti dari tabungan dan iuran mereka setiap bulan bisa dinilai kemampuannya untuk mencicil KPR,” jelas Hirwandi.
Dikatakan, KPR RTO merupakan terobosan bagi masyarakat yang masih ragu-ragu untuk membeli rumah. Sembari menunggu mereka bisa menyewa dulu dan sesudah siap bisa melakukan pembelian rumah dengan fasilitas KPR.
“Misalnya untuk uang muka (down payment) KPR masih kurang, mereka sewa dulu 2-3 tahun. Setelah cukup baru dibeli,” jelas Hirwandi.
Bank BTN sudah bekerjasama dengan dua operator provider RTO yang sudah bekerjasama dengan pengembang untuk dapat menjalankan skema tersebut. Menurut Hirwandi, pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Perumnas termasuk asosiasi developer termasuk REI mengenai skema tersebut.
Sementara KPR SSO akan diarahkan untuk masyarakat perkotaan yang diarahkan menyerap hunian vertikal. Produk ini menggunakan konsep share to equity. Artinya, kepemilikan hunian dibagi dua antara konsumen dengan penjual unit selama masa cicilan berlangsung.
Untuk KPR SSO ini, ada porsinya KPR dan ada porsi equity dalam hal ini BP Tapera. Ada 2 kewajiban dari debitur atau nasabah, pertama dari sisi angsuran KPR dan sewanya.
Hirwandi menyebutkan, KPR SSO ini sudah dikomunikasikan dengan PUPR untuk dibuat program subsidinya. Dimana tidak seluruhnya akan disubsidi dari awal tetapi akan dilihat dulu keterjangkauan dari masyarakat tersebut.
Sebagai contoh, jika harga jual Rp150 juta, maka Rp50 juta di KPR-kan lalu Rp100 juta dibayarkan oleh BP Tapera dengan dana FLPP. Konsumen kemudian menyewa dulu kepada BP tapera. Jadi ada 2 yakni KPR dan uang sewa.
Setelah cicilan KPR yang Rp50 juta habis selama jangka waktu 10 tahun , maka dilanjutkan mencicil KPR yang dibayarkan BP Tapera sebesar Rp100 juta. Dengan pertimbangan, dalam jangka waktu 10 tahun itu penghasilan konsumen sudah meningkat.
“Ini terobosan-terobosan untuk rumah subsidi yang sudah kami bicarakan dengan Kementerian PUPR. Tapi intinya adalah bagaimana ini terjangkau bagi masyarakat,” tegas Hirwandi.